Citra Ganda Raden Wijaya: Sebuah Analisis Struktur-Semiotik
Kata Kunci:
citra ganda, Raden Wijaya, struktur-semiotikAbstrak
Latar Belakang: Kajian ini berangkat dari kebutuhan untuk memahami keberadaan dua narasi berbeda mengenai Raden Wijaya. Melalui analisis struktural-semiotik mengenai eksistensi Raden Wijaya, kita dapat melihat bahwa dua narasi berbeda mengenai tokoh tersebut tidak saling meniadakan, melainkan saling melengkapi dalam lima simpulan pokok berikut ini. Tujuan: Penelitian ini bertujuan menafsirkan bagaimana kedua narasi tersebut saling melengkapi dan membentuk pemaknaan historis tentang Raden Wijaya. Metode: Metode yang digunakan adalah analisis struktural-semiotik terhadap kode, oposisi, mitos, dan tanda yang muncul dalam narasi resmi maupun narasi rakyat tentang Raden Wijaya. Hasil: Pertama, kode naratif utama: kode bangsawan mengagungkan darah biru, legitimasi dinasti dan penerus sah; kode kerakyatan membanggakan kesederhanaan dan perjuangan dari bawah. Tanda utamanya: anak desa/orang buangan sebagai simbol kedekatan dengan rakyat. Maknanya: Raden Wijaya merupakan pahlawan rakyat yang bangkit dari penderitaan. Kedua, struktur biner (oposisi) narasi: narasi resmi memproduksi silsilah darah bangsawan, legitimasi dinasti dan bangsawan, dan raja kosmik; narasi rakyat memproduksi asal-usul anak desa, legitimasi rakyat dan desa, dan pahlawan rakyat. Ketiga, transformasi mitos: mitos kerajaan di mana Raden Wijaya diproyeksikan sebagai “mata rantai kosmis” dari Ken Arok hingga Majapahit sebagai perwujudan dharma; mitos desa di mana Raden Wijaya diproyeksikan sebagai “anak desa yang menjadi raja” sebagai perwujudan harapan rakyat kecil. Keempat, polivalensi tanda “Raden Wijaya.” Tanda sebagai simbol penanda raja agung (di teks resmi) dan sebagai simbol penanda pahlawan rakyat (di tradisi desa) sehingga membuatnya diterima baik oleh elit maupun rakyat. Kelima, fungsi sosial mitos ganda. Bagi kerajaan berguna untuk menjaga wibawa, kontinuitas, dan legalitas politik Majapahit, bagi rakyat berguna untuk memberi rasa kepemilikan dan keterlibatan dalam sejarah besar, bagi bangsa modern berguna untuk menyediakan dua sumber identitas, yaitu nasionalisme berbasis kerajaan dan kerakyatan. Kesimpulan: Dua narasi tersebut saling melengkapi dalam membangun pemaknaan historis dan identitas simbolik Raden Wijaya.
Unduhan
Referensi
Christie, J. W. 1995. “State formation in early maritime Southeast Asia.” Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde, 151(2), 235 – 288.
Christie, J. W. 1998. “Money and its uses in the Javanese states of the ninth to fifteenth centuries.” JESHO, 41(3), 251 – 284.
Coedès, G. 1968. The Indianized States of Southeast Asia. Honolulu: University of Hawaii Press.
Hall, K. R. 1992. “Economic history of early Southeast Asia. Journal of Southeast Asian Studies,” 23(1), 1–33.
Houser, N. and Christian Kloesel. eds. 1992. The Essential Peirce: Selected Philosophical Writings. Bloomington: Indiana University Press.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Levi-Strauss, C. 1963. Structural Anthropology. New York: Basic Books.
Muljana, S. 2005. Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit. Yogyakarta: LKiS.
Neuman, W. L. 2006. Social Research Method: Qualitative and Quantitative Approaches. Six Edition. Boston: Pearson Education, Inc.
Nugroho, I. 2013. “Majapahit and its legacies: A historiographical essay.” Journal of Indonesian History, 5(1), 45 – 70.
Pigeaud, T. G. Th. 1960 – 1963. Java in the 14th century: A study in cultural history. The Hague: Martinus Nijhoff.
Purwadi. 2007. Folklor Jawa: Kajian Cerita Rakyat dan Legenda, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ricklefs, M. C. 2001. A History of Modern Indonesia since c.1200. Stanford University Press.
Robson, S. 1995. Desawarnana (Nagarakrtagama). Leiden: KITLV Press.
Saussure, F. de. 1972. Course in General Linguistics. New York: McGraw-Hill.
Sutjipto, B. 1988. Tradisi Lisan Jawa Timur: Kajian Cerita Rakyat di Sekitar Majapahit. Jakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
Wibisono, S. 2011. “Majapahit: Batas-batas kebesaran sebuah kerajaan.” Jurnal Sejarah, 14(2), 35 – 50.
